Amatiran
Mungkin aku terlalu tidak bisa untuk memahami keadaan, mungkin aku terlalu keras mengukut ego akan setiap hal yang aku inginkan. Tidak dengan baik aku mengolah pikiran, berulang kali mengutuk akan apa yang pernah aku bicarakan.
Kini terkurung aku dalam penyesalan, oleh waktu aku seperti ditelantarkan. Pikiranku telah diperlihatkan sebuah pembuktian bahwa ternyata adalah kesalahan aku berpikir akan membaik dengan sendirian.
Kesalahanku karena tak mampu memaklumi titik kurangmu, kekeliruanku karena memilih hilang darimu. Kehampaan adalah bukti paling kongkrit bahwa ternyata aku sangat tidak bisa menemukan warna hidup tanpa senyum darimu.
Aku terjegat dalam satu situasi yang membuat aku sulit untuk mengontrol diri, lembutnya sentuhan jemarimu serasa masih melekat, semakin sulit saat aku merindukan pelukan hangat. Nampaknya, untukku, dirimu memang masih sangat mengikat.
Aku keliru karena dari satu salahmu yang aku kedepankan adalah ego, Aku tersublim lara akibat keputusan bodoh. Meninggalkanmu telah sangat jelas membuat aku hilang arah, membuat aku kehilangan beragam warna, tidak pernah lagi ada cerah, pekat hitam sudah menutupi semuanya.
Ku akui sudah perihal memahami perasaan aku amatlah amatiran, menabirkan kejujuran pun demikian. Aku terlalu balita dalam membuat keputusan, memutuskan hubungan ternyata hanya memberi penyesalan yang tak kunjung bisa dihentikan.
Aku amatiran dalam menyikapi sebuah hubungan bersama pasangan dan engkau adalah korban dari aku yang terlalu kekanakan. Padahal tidak seharusnya aku pergi karena nyatanya hanya olehmu aku sangat dicintai, tidak seharusnya aku meninggalkanmu sendiri karena nyatanya untukku engkau menjadi yang paling mau menemani.
Aku akan lebih baik tanpamu adalah omong kosong, kalimat paling tak ada wangi yang pernah aku ucap. Aku malu karena pernah berkata demikian karena kini aku ditertawakan oleh keadaan.
Seucap kata “kembalilah” ingin aku suarakan sebagai sebuah kesimpulan dari perasaan yang kini mengepul oleh penyesalan. Aku tahu ini menjijikan, seolah menjilat ludah sendiri aku sangat tidak tahan.
Maafkan akan tingkah yang membuatmu merasa dipermainkan, merasa sangat tidak dihargai engkau yang sangat punya ketulusan. Itu semua adalah murni kebodohan; mengutuk satu kesalahan diantara banyak kebaikan yang telah engkau berikan.
Maaf jika pada akhirnya aku yang meminta kesempatan kedua saat mungkin engkau tengah belajar untuk lupa. Kehendakmu untuk tertawa atau menerima yang jelas kau sudah tahu bahwa tanpamu; aku gagal menjadi tidak apa-apa.
Yang ada,
Tanpamu aku tidak bisa menjadi apa-apa.